On Minggu, 02 September 2012 0 komentar

Indonesia, sejak diproklamirkan kemerdekaan negara ini menganut falsafah bahwa hanya ada satu bangsa di wilayah negara Republik Indonesia yaitu bangsa Indonesia. Hal ini sesuai dengan tekad (pakai d atau t sih) para pemimpin Indonesia yang tercetus pada “Sumpah Pemuda” tahun 1928. Tetapi, kemudian perlu dipahami lebih dalam bahwa konteks “satu bangsa” yang diucapkan dalam sumpah pemuda tersebut sangat bernuansa “historis”, dimana semua manusia atau kelompok manusia (anda boleh menyebutnya dengan suku bangsa) yang berdiam di wilayah Indonesia punya “majikan” yang sama yaitu pemerintah Belanda (yang diwakili oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda). Ini yang kemudian menyebabkan bahwa rasa persatuan atau kesadaran akan kebutuhan bersama untuk menentang kolonialisme dalam bentuk apapun kemudian menjadi manifes dengan munculnya “rasa kebangsaan” Indonesia. Tetapi harap diingat bahwa proses penaklukan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda yang belangsung cukup sukses hanya di pulau Jawa, sedang di bagian timur dan barat dari Indonesia malah berlangsung dalam periode yang amat singkat kurang dari 45 tahun. Secara legal formal dalam hukum internasional mengatur tentang kepemilikan suatu wilayah yang dinyatakan “terra nullius” oleh hukum internasional, yang kemudian mensyaratkan adanya keefektifan pemerintahan di wilayah yang dikuasai, baik secara politik, hukum, dan ekonomi (lihat kasus sipadan dan ligitan), Aceh dan Papua Barat adalah wilayah terakhir yang kemudian secara efektif dikuasai dan dimasukkan ke dalam wilayah Hindia Belanda. Proses Pembentukan Indonesia. Dari sejak awal pergerakan kemerdekaan dari tindasan pemerintah kolonial Hindia Belanda dimulai dari daerah-daerah lokal (setingkat propinsi/kabupaten kalau sekarang), hal ini wajar karena mengingat bahwa rasa kebangsaan di tingkat lokal sangat kuat (ini terbukti hingga saat ini). Kemudian setelah pemerintah Belanda menerapkan politik “etis” di Indonesia mulai terbentuk segolongan elit terdidik dan terpelajar di seluruh kepulauan Indonesia yang kemudian mentransformasikan dirinya dengan identitas keindonesiaan dalam wujud perhimpunan mahasiswa Indonesia di negeri Belanda yang berwadah dalam Perhimpunan Indonesia. Pada saat yang sama, partai-partai politik atau yang menyamai partai politik tidak ada yang menggunakan identitas keindonesiaan (sebagai contoh Budi Utomo, Sarikat Islam, NIP), kecuali PKI. Saat itu hanya Partai Komunis Indonesia-lah yang menggunakan identitas keindonesiaan, walaupun mereka tidak bisa mengklaim bahwa dalam pergerakan kemerdekaan mereka adalah pelopor penggunaan nama Indonesia karena pada awalnya pun mereka menggunakan nama Perserikatan Komunis Hindia. Harus diakui bahwa dua organisasi politik inilah yang memperkenalkan identitas keindonesiaan pada dunia Internasional (PI untuk ke luar negeri dan PKI untuk ke dalam negeri), dan kemudian menjadi sandaran bagi partai-partai politik yang berbasis nasionalisme untuk menggunakan identitas keindonesiaan. Sehingga proses adanya kesadaran keindonesiaan ini kemudian lebih dikarenakan adanya penindasan secara politik, ekonomi, dan hukum yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda, tanpa adanya kesadaran luhur akan pentingnya federasi yang longgar antar bangsa di wilayah Indonesia. Proses Pemerdekaan dan Kemerdekaan Indonesia Proses penyatuan Indonesia yang sedikit mengambil bentuk “keterpaksaan” mulai mengemuka ketika pemerintahan fasis Jepang memberikan sedikit kemerdekaan untuk merancang proses kemerdekaan Indonesia kepada para pemimpin Indonesia. Pikiran-pikiran yang kemudian mengemuka kemudian malah menjadi manifes dalam bentuk negara integralistik yang dalam sejarah perjalanannya justru anti demokrasi dan menjadikan tiap rejim yang memerintah tidak menghormati hak asasi manusia. Hal ini kemudian menjadi basis legalitas pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dinyatakan dalam pasal 1 ayat 1 UUD RI. Pikiran tentang negara integralistik ini sebenarnya sangat dijiwai oleh paham kosmologi Jawa yang sangat feodal itu, yang sayangnya justru di adopsi oleh para pemimpin Indonesia (mungkin ini berkaitan dengan banyaknya pemimpin Indonesia yang berasal dari Jawa). Yang kemudian justru menciptakan suatu “monster” yang melenyapkan segala kearifan lokal masyarakat adat di Indonesia (lihat UU pemerintahan di desa pada masa rejim orde baru). Dan hal ini kemudian menuimbulkan resistensi daerah-daerah di luar Jawa yang menolak hegemoni Jawa atas pemerintahan di Indonesia, sehingga yang diciptakan oleh setiap pemerintahan di Indonesia bukannya rasa kebangsaan Indonesia tetapi malah memunculkan adanya “Sentimen Keindonesiaan” . Proses yang terjadi dengan pemaksaan ini malah diteruskan oleh rejim militer orde baru. Proses yang sama kemudian terjadi pada wilyah Timor Leste atas nama “integrasi”, wilayah tersebut dimasukkan (baca;dianeksasi) secara melanggar hukum internasional ke dalam wilyaah Indonesia, pada saat yang sama di Aceh dan Papua juga terjadi kekerasan yang sistematis demi melanggengkan ideologi militer yaitu persatuan dan negara integralistik. Di Bawah Rejim Korporatis Militer Orde Baru Masa ini ditandai dengan lenyapnya penghargaan terhadap perbedaan tiap bangsa yang hidup di Indonesia, dengan diterapkannya suatu kebijakan yang mengharamkan masalah SARA didiskusikan secara terbuka. Perbedaan yang ada kemudian dicoba untuk ditutupi dengan slogan semu “bhinneka tunggal ika” versi orde baru dan militer kemudian secara mencolok diberi “baju baru” sebagai stabilisator dan dinamisator dalam kehidupan politik nasional. Di dalam rejim ini paham negara integralistik kemudian sangat menonjol, sehingga setiap perbedaan pendapat dibungkam dengan cara-cara kekerasan. Kebebasan akademik kemudian diberangus dengan menempatkan satu unit milisi mahasiswa di tiap kampus yang diberi baju “Resimen Mahasiswa”. Pada saat ini pula berbagai bibit ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah mulai bermunculan meskipun dalam skala lokal dan sangat elitis sekali. Di dua propinsi Indonesia; Aceh dan Papua Barat serta satu koloni Indonesia –Timor Leste- kemudian secara terbuka mengumumkan prinsip politiknya untuk memperoleh kemerdekaan dari Indonesia. Penindasan yang dilakukan secara sistematis di dua propinsi dan satu koloni ini ternyata tidak menyurutkan “niat” untuk merdeka. Bahkan setelah jatuhnya presiden Soeharto pada tahun 1998, gerakan kemerdekaan di Aceh, Papua Barat, dan Timor Leste semakin berkibar dan semakin mendapat tempat di hati bangsa Aceh, Papua Barat, dan Timor Leste serta menjadi pusat perhatian dunia Internasional karena ditemukan fakta tentang terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia di dua propinsi dan satu koloni Indonesia itu. Munculnya Tawaran Otonomi Khusus Setelah kemenangan bangsa Timor Leste melepaskan diri dari kolonialisme Indonesia, di Aceh dan Papua Barat semakin bertambah kuat keinginan kemerdekaan ini. Gerakan Aceh Merdeka justru mulai menampilkan perlawanan bersenjata secara terbuka dan lebih dari 30 % pemerintahan di tingkat kecamatan telah diambil alih secara efektif oleh Gerakan Aceh Merdeka. Sementara di Papua Barat dengan diselenggarakannya Kongres Rakyat Papua II yang salah satu resolusinya adalah meminta pemerintah Indonesia mengembalikan kedaulatan bangsa Papua Barat seperti yang telah dicapai pada tahun 1961, dan hasil dari Kongres tersebut mendapat dukungan yang meluas di seluruh wilayah Papua Barat. Dalam keadaan terdesak seperti ini, disamping dengan maraknya kampanye di dunia internasional tentang pelanggaran hak asasi manusia, kemudian pemerintah Indonesia menawarkan resep otonomi khusus. Tawaran ini mendapatkan reaksi yang berbeda dari rakyat di Aceh dan Papua Barat. Tetapi tawaran ini kemudian malah tidak didiskusikan secara terbuka dengan bangsa Aceh dan Papua Barat dan malah kemudian menetapkan secara sepihak materi dalam UU otonomi khusus tersebut. Bagaimana Sekarang? Pemerintah Indonesia sebaiknya segera berunding ulang dengan wakil-wakil bangsa Aceh dan Papua Barat secara terbuka untuk penyelesaian damai di Aceh dan Papua Barat serta menghukum para pelaku pelanggaran hak asasi manusia. Dan tidak lagi melakukan aksi perdamaian semu serta mulai mengakui bahwa disamping bangsa Indonesia juga terdapat bangsa Aceh dan Papua Barat serta bangsa-bangsa lain yang hidup secara berdampingan di wilayah negara Indonesia. Dan kemudian juga memformulasi ulang bentuk negara kesatuan menjadi negara federal di dalam UUD RI.

0 komentar:

Posting Komentar